Kumpulan Cerpen Remaja
Dira
Cerpen Karangan: Evalie
Andira Permata Sari, teman Mira yang kurang mampu, akan tetapi, Andira anak yang baik dan pintar.
Suatu hari
“Semuanya turun ke lapangan, untuk latihan upacara.” ujar Kak Novi, ketua OSIS.
Saat latihan, Dira naik dengan keluhan letih. Setelah Dira naik ke kelasnya, latihan pun dilanjutkan.
“Kayla, bilang Kak Novi aku mau menengok Dira ya!” Teriak Mira sambil berlari.
Sesampainya di atas, Mira perlahan berjalan menuju kelas, alangkah terkejutnya Mira ketika melihat Dira yang mukanya masih pucat mencuri uang dari tas Sella. “DIRA, APA YANG SEDANG KAMU LAKUKAN??!!” pekik Mira, Dira dengan terbata-bata menjawab
“aku… tak bermaksud…. tapi… kesehatan kakak dan aku beberapa hari ini menurun… dan kami tak punya uang untuk membeli… obat.”
Memang benar, Dira akhir akhir ini terlihat lemas, dia hanya tinggal berdua dengan kakak sepupunya, tanpa sanak saudara lain, Mira telah mengetahuinya. Dan, mereka lagi ditimpa masalah keuangan beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, Mira dan Dira sama-sama mengetahui bahwa perbuatan Dira itu salah.
“Dira, kumohon, kembalikan uang itu ke dalam tas Sella” ujar Mira lirih. Dira pun mengembalikan uang tersebut.
“Dira, aku akan membantumu, tenang saja, jangan pernah melakukan perbuatan seperti ini lagi” ucap Mira sembari memeluk Dira.
Sepulang sekolah, Mira dan Dira melihat undian. Mereka mengisi survei dan mengambil nomor lotre.
Seminggu kemudian, Dira dan Mira kembali ke tempat undian, tiket undian mereka berdua berhadiah uang sejumlah 100 juta US dollar. Dira langsung menangis terharu, “Mira, ini semua berkat kamu, sekarang aku dan kakak bisa membeli obat, dan kakak dapat melanjutkan kuliahnya, terima kasih.”
Mira dan Dira sekarang menjadi sahabat sejati dermawan yang hidup makmur bahagia.
Judul Cerpen Aku Memang Tak Sempurna
Cerpen Karangan: Naymii
Banyak orang menganggap diriku sebelah mata. Seakan mereka tak pernah mempedulikan betapa sakitnya hatiku. Hinaan. Cacian. Ejekkan pedas. Itulah yang mereka lakukan kepadaku. Apa salahku?, batinku menjerit keras.
Nayanty Nur Fauzy adalah nama lengkapku. Biasanya aku disapa Zyzy oleh orang-orang di sekitarku. Aku dilahirkan ke dunia ini dengan tubuh normal dan keluarga yang terbilang sederhana. Namun, suatu saat Tuhan berkendak lain. Aku mengalami suatu peristiwa buruk disaat aku masih TK, yaitu tersengat listrik dan mengakibatkan salah satu bagian jariku putus kemudian melengkung. Aku tak tahu harus menyalahkan siapa dalam peristiwa ini. Tidak mungkin aku menyalahkan Tuhan yang menciptakan semua takdir ini.
Aku berusaha untuk menahan perih yang menyerang lubuk hatiku. Namun, itu terasa sulit bagiku. Teman-temanku banyak yang tidak tulus denganku. Mereka memilih teman yang dianggap sederajat dengannya. Aku merasa kekuranganku menjadi penyebab semua ini.
“Din, aku merasa teman-teman seperti menjaga jarak denganku. Apa ada yang salah denganku? Apakah mereka tak mau berteman dengan seseorang yang mempunyai kekurangan?” tanyaku dengan frustasi akan semua ini.
“Bersabarlah, Zy. Aku tahu kok perasaanmu. Kamu pasti tersiksa kan? Sudahlah, tak usah dipikirkan! Lagian kamu juga belum punya bukti kebenarannya. Belum tentu juga mereka mempunyai perilaku seperti itu,” ujar Dina teman sebangkuku yang paling dekat denganku di kelas.
“Oke… Aku akan berpikiran positif!” kataku sambil memotivasi diri sendiri.
Namun, suatu saat hal yang pernah terlintas di angan tentang teman-temanku terjadi. Mereka benar-benar menjaga jarak karena kekuranganku. Aku mengetahuinya dari percakapan dua orang temanku yang tak sengaja kudengar.
“Tin, kamu benar-benar tak menyukai Zy?” tanya Gina serius.
“Sebenarnya, aku biasa aja. Namun, aku tak menyukai gayanya yang sok banget. Padahal dia itu keturunan dari keluarga biasa. Selain itu, dia juga cacat. Gitu kok kelakuaannya sepeti anak orang kaya. Jika memang ia benar-benar pingin gabung bersama kelompok kita. Dia harus sederajat dengan kita!” ujar Tina panjang lebar.
Perkataanya itu membuat hatiku teriris. Pilu yang kurasakan. Serasa bagaikan ada petir yang menyambar hatiku. Perih sekali. Tanpa sadar, secara perlahan air mataku menetes tanpa bisa dicegah. Aku sudah tak bisa menahan luapan emosi di hatiku ini.
“Ya Allah, mengapa ini semua hanya terjadi padaku? Apakah sesorang sepertiku ini mampu menahan semua beban gejolak di hatiku? Aku sangat percaya pada-Mu. Kamu tak mungkin memberi cobaan yang tak bisa dilalui oleh hambamu. Namun, mengapa aku merasa ini semua sangat berat. Aku serasa tak mampu lagi,” batinku pilu sambil meratapi nasibku kepada Allah.
Ketika perjalanan pulang ke rumah. Aku menemukan seorang bapak berumuran sekitar 35 tahun yang ternyata lebih cacat dariku. Beliau seorang penjual minuman di sebuah kedai pinggir jalan. Tak sengaja aku mengetahuinya ketika membeli dagangannya. Cacat yang dia miliki hampir sama denganku. Namun, hampir setiap jarinya melengkung baik itu kanan maupun kiri. Miris sekali aku melihatnya. Aku merasa kasihan dan minder terhadap bapak penjual itu. Secara tak langsung, bapak itu mengajarkan kepadaku jika hidup itu harus dijalani dengan tegar. Tak boleh ada patah semangat. Mulai detik ini, aku menyadari jika di kehidapan ini semua adalah teman. Biarpun seseorang menganggap kita musuh. Namun, kita tak boleh putus asa. Karena di dunia ini pasti masih ada seseorang yang benar-benar peduli dengan kita.
Kaichou, I Love You
Cerpen Karangan: Dian Safitri
“Kayla! Bangun.. kamu mau terlambat sekolahnya. Mama udah bilang dari dulu kan, kalau habis shalat shubuh jangan tidur. Let’s wake up..” Sebuah suara khas mama menggelegar di telinga Kayla. Namun bukannya bangun, Kayla malah memeluk teddy bearnya. Tiga garis bak persimpangan jalan sudirman (ala komik komik getoh) langsung muncul di kening mamanya.
“Kayla bangun.. kalau gak bangun lagi, mama bakal seret kamu ke kamar mandi.” Emosi mamanya. (wuih, jahat banget). Dengan mata merem Kayla langsung duduk masih memeluk bonekanya.
“Emang udah jam berapa sih, ma? Hoamm…” Kayla menguap lebar-lebar.
“Jam 6. 50. Alif udah nunggu kamu dari tadi lho.. Masa adik lebih rajin bangunnya dari pada kakak sih…” Jawab mamanya. Alif adalah adik Kayla yang duduk di kelas 3 SMP. Tugas rutinnya setiap pagi adalah mengantar kakaknya, si Kayla ke sekolah dengan selamat pake motor. Karena Kayla gak tahu bawa motor sendiri, jadi numpang deh di adiknya.
“What? Jam 6.50?! astaga, gawat banget.” Dengan spontan Kayla langsung melompat dan ngacir ke kamar mandi. Mama hanya senyum sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah putrinya.
Pagi yang cerah, tapi tak secerah hati Kayla. Karena hatinya sedang tegang membayangkan wajah KETOS sok cool yang memarahinya karena terlambat. Karena asal kalian tahu guys, ini adalah kali ketiga Kayla terlambat OMG… Kayla bahkan gak berani memikirkan jenis hukuman apa yang diberikan KETOS kepadanya kali ini. Berulang kali Kayla menyuruh Alif balapin motornya. Tapi gak bisa. Soalnya, kendaraan lagi padat banget, guys. Huft, jadi serba salah.
Akhirnya, setelah melewati banyak rintangan, sampailah Kayla di sekolahnya. Dia pun segera turun dari motor dan berlari kuat-kuat menuju pintu gerbang. Matanya melirik pintu gerbang, OMG, udah mau ditutup. Dengan segenap tenaga, Kayla langsung berlari melewati gerbang sambil ngos ngosan. Berhasil… Namun guys, ternyata masalah belum selesai karena si KETOS yang menurut Kayla sok cool itu datang menghampiri Dinah dengan wakilnya yang sok cantik sambil masang tampang sok galak yang bikin Dinah pengen ngakak.
“Kayla Diandra, kamu sudah terlambat 3 kali berturut turut.” Kata KETOS yang sekarang berdiri di hadapan Kayla. Kayla pun menundukkan pandangan.
“Maaf..” Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulut Kayla. Yaiyalah, masa Kayla harus menundukkan badan ala orang Jepang lalu berkata ‘Gomenne Ray-kun, maafkan diriku yang terlambat ini.’ Memikirkannya saja membuat Kayla bergidik. Dalam hati Kayla membatin ‘Heh, kenapa gue harus bertemu dengan cowok sok cool ini sih. Ditambah pengawalnya yang sok cantik ini malah ikut ikut ngekor di belakang dia.’ Kayla mengangkat wajahnya malas. KETOS masih menatapnya tegas.
“Tugas kamu sekarang bergabung dengan anak-anak terlambat yang lagi bersihin lapangan basket.” Ujar Ray, si KETOS tegas. Kayla sumringah. Syukurlah, masih ada anak yang terlambat kalau gak kan jatahnya bersihin lapangan basket sendirian.
“Tapi, Ray.. kan udah banyak yang bersihin lapangan basket. Gimana kalau dia bersihin toilet aja” Tukas Anggi, si wakil KETOS yang sok cantik. ‘Yaelah ni anak, kenapa sih pake sumbang suara segala. Pengen gue sumpal mulutnya pake sepatu ni anak.’ Batin Kayla kesal sambil melirik Anggi.
“Ini perintah, Kayla pergilah ke lapangan basket sekarang.” Kata Ray memerintah. Kayla pun berjalan malas menuju lapangan basket.
Sesampainya di lapangan basket, Kayla mengedarkan pandangannya. Lho kok?! Semua orang pada ke mana. Bukannya tadi KETOS bilang kalau dia bersihin lapangan basket ama anak-anak lain yang telat. Kok jadi Kayla yang bersihin sendiri. OMG.. Apa kini dia kena tipu. Huh, awas aja KETOS yang sok cool..
Bel masuk berbunyi. Kayla pun segera menyeret langkahnya ke kelas. Pagi ini cukup melelahkan. Sambil menggerutu dalam hati, dia menuju bangkunya. Dua sahabatnya yang duduk di sampingnya melongo melihatnya.
“Lho? Kayla lo dihukum lagi?” Tanya Karin menatap Kayla. Kayla hanya mengangguk.
“Pasti ama si Ray, KETOS yang keren abiss itu.. ya kan?” Ujar Kinan membuat Kayla memelototinya.
“What? Keren? Haha.. apanya yang keren. Tampang sok cool gitu.” Tukas Kayla.
“Masa sih.. Padahal waktu SMP lo suka kan sama dia, sampe sampe lo bilang ama gue lo mau jadi secret admirernya..” Ceplos Karin. Yaelah ni anak maen buka kartu orang aja.
“Itu kan dulu? Gue udah move on kali. Gue aja nyesel suka ama dia waktu SMP..” Balas Kayla.
“Oh ya.. bilang aja sekarang lo masih suka ama dia. Dia kan sekarang udah jadi The most wanted boy in sekolah kita..” Tambah Kinan. Kayla langsung sebal. Bisa-bisa dia tarik tuh mulutnya si Kinan biar gak ngegodain dia lagi.
“Biarpun dia jadi the most wanted boy, gue kagak peduli. Intinya gue gak suka sama dia lagi. Titik..” Seru Kayla.
“Ya udah deh, serah lo Kay..” Balas Kinan sambil cekikikan.
Bukan Petak Umpet
Cerpen Karangan: Y. Endik Sam
Cit ciit cuitt suara merdu burung Pipit di balik pepohonan membuat pagi hari ini terasa sangat istimewa. Ini hari minggu. Ada sesosok anak remaja sedang asyik melaju bersama motor bebeknya. Namanya Hasan. Saat melintas di jalan raya dia melihat sebuah papan bertuliskan ‘Foto Kopi’. Hasan pun berhenti. “Mbak, fotokopi satu, tidak pake susu. Nih kameranya pake HP ku saja!” Katanya lalu duduk di kursi. “Mana yang difotokopi?” Tanya penjaga toko fotokopi tersebut. “Ya aku lah mbak, memangnya siapa lagi? Mau aku pamerin pada teman temanku” Jawab Hasan. “Mas mau difotokopi?” Tanya penjaga itu keheranan. “Iyalah mbak! Kopinya jangan banyak-banyak gulanya ya!” Kata Hasan. Penjaga toko pergi ke warung sebelah untuk membeli kopi, lalu disuguhkan pada Hasan. Cekrek cekrek cekrek Hasan berpose mirip Justin Bieber, Indro Warkop, Tukul Arwana, Dan artis-artis yang lain saat penjaga toko fotokopi itu mengambil gambar lewat HP milik Hasan.
Yess! Sukses!! Hasan gembira. “Berapa Mbak?” Tanya Hasan. “Kopinya lima ribu, fotonya sepuluh ribu, dan obat jengkelnya sepuluh ribu. Jadi semua dua puluh lima ribu!”
Nama: Hasan. Tinggi Badan: 165 cm. Berat Badan: 80 kg. Kelas: X a. Sekolah: SMA Masa Depan. Peringkat Kelas: 42 (dari 48 siswa). Hobi: K-Pop (Korea Pop). Golongan Darah: B. Tipe: Gendut.
Matahari memayungi belahan bumi. Sinarnya menerangi segenap kehidupan saat ini. Teriknya siang ini tidak membuat semangat Edo menjadi kendor. Dia sedang membonceng Aulia bersama motor 250 cc nya. “Kita cari rumah makan yang paling mewah yuk untuk tempat ngobrol!” Ajaknya pada Aulia. “Yang sederhana saja” Jawab Aulia lembut. “Tidak ah! Masa di tempat sederhana? Kita cari Rumah Makan yang paling mahal saja untuk tempat ngobrol, biar asyik!” Ajak Edo.
Mereka berdua berhenti di sebuah Restaurant Mewah. Pelayan datang. “Mau pesan apa? ini daftar menunya!” Kata pelayan itu ramah. “Air putih dua Mbak!” Jawab Edo. “Terus apalagi?” Tanya sang pelayan. “Sudah itu saja cukup!” Kata Edo menirukan bos-bos gedean. Pelayan itu pergi, lalu kembali membawa pesanan Edo, dua gelas air putih.
Bla bla bla Edo ngobrol kesana kemari, Namun Aulia cuman diam seribu kata sambil menahan mukanya yang berubah warna jadi merah jambu karena malu. Edo memanggil pelayan, “Mana bonnya? Berapa semuanya mbak?” Tanya Edo sambil mengeluarkan dompetnya. “Air putihnya gratis mas!” Jawab pelayan. “Wah enak! Kalau begitu setiap hari akan aku ajak teman-teman ngobrol di sini aja mbak, biar restaurantnya rame terus!” Kata Edo kegirangan sambil melompat-lompat kayak anak kecil. “Tapi mulai besok restaurantnya tutup mas!” Kata pelayan itu. “Dan juga mulai besok kita putus!” Kata Aulia pada Edo.
Nama: Edo. Tinggi Badan: 175 cm. Berat Badan: 40 kg. Kelas: X a. Sekolah: SMA Masa Depan. Peringkat Kelas: 36 (dari 48 siswa). Hobi: Anime Jepang (meme). Golongan Darah: A. Tipe: Kurus.
Hari hampir senja. Mentari berwarna jingga di ufuk barat. Satria sedang melaju bersama motor antiknya membawa 25 bungkus nasi pesanan Bu Tuti di kota Daun. “Bu Tuti! Ini pesanannya 25 bungkus nasi” Kata Satria. “Duduk dulu Satria. Perasaan saya cuman pesan 24? Kok lebih satu? Bawa pulang saja yang satu. Biar ibumu tidak rugi!” Kata Bu Tuti sambil membawa segelas teh hangat, lalu sibuk membawa kotak-kotak nasi ke dalam rumah. Lebih satu? Satria membuka satu kotak yang tersisa, Lalu memakannya nyam nyam, memang enak masakan ibukku… Batin Satria sambil makan dengan lahap. “Oh iya benar!! 25 kotak seharusnya. Sebab Bu Ana juga ikut arisan. Dia anggota baru!” Kata Bu Tuti tiba-tiba berada di samping Satria. Buuuhhff! Satria memuntahkan makanan di mulutnya. 25? Yang benar 25?? Satria menengok ke arah Bu Tuti pelan-pelan sambil mulut masih mengunyah makanan yang tersisa di mulutnya.
Nama: Satria. Tinggi Badan: 170 cm. Berat Badan: 60 kg. Kelas: X a. Sekolah: SMA Masa Depan. Peringkat Kelas: 1 (dari 48 siswa). Hobi: Bola. Golongan Darah: AB. Tipe: Sedang.
Malam mulai datang. Satria, Edo, Hasan dan Zahra sedang berkumpul di lapangan kampung. Mereka hendak maen petak umpet. Hom pim pah!! Hasan kalah. Dia dihukum. “Aku hitung sampai 10, aku akan membuka mata untuk mencari kalian! Satu, Dua, Tiga…!” Teriak Hasan sambil menutup matanya di sebuah tembok rumah. Mereka bertiga langsung lari. Satria pulang ke rumahnya, masuk ke kamar dan nonton bola. Edo juga lari pulang ke rumahnya. Dia maen game di ruang tamu. Zahra yang cewek juga ikut lari pulang. Dia langsung membantu ibunya bikin kue di dapur. “Sembilan, Sepuluh…!” Teriak Hasan lalu membuka matanya. Hasan menuju semak-semak dan mencari-cari ketiga temannya tetapi tidak ada. Hasan mencari ke pinggir sungai juga tidak ada. Di sudut-sudut rumah kampung, pos kamling, warung, sawah, kebun, semua sudah dicari. Tetap saja ketiga temannya tidak dia temukan.
Malam semakin larut. Satria, Edo dan Zahra telah tertidur lelap. Nampak Hasan berputar-putar mengelilingi kampung mirip orang ronda. Sepi, Sunyi… Sampai pagi.
Kecerobohan di Media Sosial
Cerpen Karangan: Raffa Khalisha Izdihar
Bunyi sebuah pesan SMS yang masuk ke dalam telepon gengam saya membangkunkan saya dari tidur. Tanpa melihat pesan tersebut, seketika saya melihat kepada arah jarum jam yang tepat pada pukul 7 pagi. Hal tersebut sontak membuat saya bergegas untuk meninggalkan tempat tidur. Tidak tahu apa yang membuat ranjang pada pagi hari terasa sangat menempel pada tubuh saya. Setiap kali saya berusaha untuk menggerakan badan saya dan bersiap-siap di pagi hari, ranjang tersebut seakan meminta saya untuk kembali tertidur dan seakan berkata “tidurlah kembali, 5 sampai 10 menit tidak akan memakan waktu terlalu lama.” Sudah diketahui oleh seluruh orang, bahwa itu tidak akan pernah berarti 5 sampai 10 menit. Hal itu tidak akan terjadi hari ini. Saya sudah bertekad untuk tidak terlambat pada hari pertama di SMA.
Tanpa ragu lagi, saya langsung berangkat dan menembus kemacetan Jakarta di pagi hari menggunakan ojek langganan saya.
Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, dari kejauhan saya sudah bisa melihat sekolah saya. Dengan perasaan yang gugup bercampur dengan semangat, saya pun memberanikan diri untuk akhirnya turun dari sepeda motor dan melangkahkan kaki saya untuk pertama kalinya. Tetapi, saya merasa ada suatu hal yang janggal. Saya masih berdiri di depan gerbang sekolah saya dengan keadaan terkunci sambil mengira-ngira apa yang kira-kira membuat saya berfikir bahwa ada hal yang janggal. Sampai akhirnya ada seorang satpam berpakaian rapi menegur saya. “Dek, mau ikutan jaga sekolah bareng saya?” spontan, saya menyatukan kedua alis saya dengan bersamaan serta membuka mulut saya mengeluarkan reaksi kebingungan. “Saya mau sekolah pak, tolong bukain pagernya karena saya sudah telat. Ini hari pertama saya pak” ucap saya dengan nada yang tergesa gesa. “Aduh, gimana ya, bukannya saya nggak mau bukain pager, tapi hari ini hari libur. Kalau mau nemenin saya jaga sekolah sih dengan senang hati” Jawab pak satpam sambil tersenyum lebar dan meninggalkan saya karena harus kembali menjaga sekolah.
Tidak berpindah posisi, saya masih berdiri tepat di depan pagar sekolah sambil memegang kedua tali tas saya. Dengan perasaan malu kepada bapak satpam yang menghampiri saya, dicampur dengan rasa jengkel, saya pun mengeluarkan telepon genggam saya dan membiarkan kedua ibu jari saya untuk mengekspresikan hal yang terjadi kepada teman-teman saya hingga dapat dibaca oleh seluruh orang. Dengan hati yang kesal, saya pun meninggalkan tempat dimana saya berdiri dan pulang kembali ke rumah. Panas terik matahari tercampur dengan kaki saya yang pegal-pegal selepas menempuh perjalanan untuk pulang ke rumah. Sesampainya saya di pintu rumah, tidak memikirkan situasi dan kondisi, langsung saya membanting pintu tersebut lalu bergegas lari menuju kamar saya yang berada di lantai atas.
Ketukan suara pintu terdengar sangat jelas di kuping saya. Seakan tak mendengarnya, saya mengabaikan ketukan tersebut dan mengunci kamar. Lama kelamaan suara ketukan tersebut reda dan saya berfikir, mungkin ibu sudah lelah dan membiarkan saya menenangkan diri di kamar. Tetapi setelah satu jam berlalu, saya mulai sadar akan apa yang saya lakukan siang tadi. Tak lama kemudian, ketukan tersebut terdengar lebih keras diirigi oleh teriakan marah ibu. Tak memiliki pilihan lain, saya buka pintu tersebut dan rupanya, ibu telah membaca pesan yang saya unggah tentang kekesalan saya mengapa tidak ada yang memberitahukan saya bahwa hari ini adalah hari libur. Tutur kata yang tidak sopan dan pilihan kata yang tidak baik membuat ibu marah dan menasehati saya.
“Media sosial itu adalah salah satu hal yang memang menyenangkan bagi seluruh remaja untuk digunkan, tetapi media sosial bisa dengan sangat mudah untuk disalah gunakan, seperti yang kamu lakukan tadi.” Kata ibu.
Melihat kembali tulisan yang saya unggah di media sosial tadi siang, saya kembali berfikir bahwa hal tersebut tidak seharusnya saya lakukan. Ditambah perasaan yang sangat tidak enak melihat betapa banyaknya orang yang melihat tulisan saya. Lalu, dengan cepat saya hapus tulisan tersebut sehingga tidak ada lagi yang dapat melihat hal tersebut.
Untuk melupakan segala hal yang terjadi pagi ini, mendengarkan musik adalah salah satu hal yang saya selalu lakukan. Sambil melihat-lihat pilihan musik yang terdapat pada telepon genggam saya, seketika saya ingat pesan SMS yang membangunkan saya di pagi hari. Tidak menunggu lagi saya pun langsung membukanya.
“Nak, hari ini seluruh murid diliburkan karena ada perayaan hari buruh nasional. Maaf ibu tidak bisa membangunkanmu di pagi hari karena kakekmu sakit, ibu harus pergi untuk menemaninya.” Tanpa berkutik sedikit pun, saya langsung bergegas masuk ke dalam kamar ibu dan memeluknya untuk meminta maaf atas prilaku yang saya telah perbuat dan berjanji untuk tidak melakukannya kembali di hari yang akan datang.
AMANAT: Kecerobohan kecil bisa memberikan dampak yang sangat besar. Oleh karena itu berhati-hatilah dalam memilih suatu keputusan. Karena, masalah besar sesungguhnya adalah kumpulan dari masalah-masalah kecil yang disepelekan.
LOVE
Cerpen Karangan: Eunike Fany Febriliany
“Wuiiih siapa itu, Ay?”
“Siapa? siapa?” Gaby dan Aurel mendorongku, Shalin memepetku.
“Aduuh, Edric sama siapa itu?”
“Shal, jangan jadi kompor, ya..” kata Gaby.
“Udahlah biarin.” Kataku kembali membaca buku latihan UN. “Positive thinking aja kenapa sih?”
“Gayamu, Reen…”
“Waah, pada ngelihatin siapa?” Bu Anne mendekati kami.
“Itu, Edric, Bu!” jawab Aurel dengan santainya.
“Haaahh?!” kami berlari duduk ke tempat masing-masing saat kami sadar Bu Anne sudah datang.
“Kalian ini di tempat kursus masih seperti itu… Mau ujian lho, kalian…” kata Bu Anne. “Oke sekarang kerjakan buku paket 1 halaman 32..”
Begitulah kelakuan kami setiap kali kursus. Selalu heboh dan buat pusing Bu Anne dan beberapa guru kursus yang lainnya. Mereka sepertinya sudah tobat sama kelakuan gilaku dan sahabat-sahabatku.
Pagi sebelum bel masuk berbunyi, seperti biasa, aku dan sahabat-sahabatku nongkrong di kantin lantai 3. Sambil ngobrol aku belajar untuk tes UAS minggu depan.
“Auugh!”
“Astaga, Ayreen…” kata Gaby. “Kalau jalan lihat-lihat dong… Tong sampah dari tadi diem di situ kok ya kamu tabrak…”
“Hehe… nggak lihat aku…” kataku membereskan tong sampah yang jatuh.
“Makanya jalan ya jalan, jangan sambil mbaca… ya nggak kelihatan tong sampah segede itu.” Kata Gaby.
Kami memang berbeda kelas tapi setiap waktu kosong kami pakai untuk sharing dan belajar bareng. Seperti kali ini. Banyak hal yang kami saling tukar saat seperti ini. Saat akan UAS.
“Waah rajinnya…” kata Ce Viena duduk di sampingku. “Pagi-pagi udah belajar…”
“Ce Viena?” aku menatapnya bingung.
“Ya elah, Reen, natap Ce Viena nya biasa aja napa?” tegur Gaby.
“Hahaha, mukamu itu lho, Reen…” sambung Ce Viena.
“Lha aku kaget aja kok Ce Viena bisa di sini gitu..”
“Saya di sini jadi pendamping sementara buat Miss Karyn yang katanya mau resign.”
“Miss Karyn resign?” sahut Aurel yang tiba-tiba muncul di sebelah Gaby.
“Kan giliranmu sekarang, Rel!”
“Giliran? Giliran apa?” Aurel bingung. “Giliran apa, Gab, Reen?”
“Giliran ambil sembako.” kataku.
“Giliranmu yang kagetlah, Rel. Tadi gua yang kaget, sekarang kamu.” sambung Gaby.
“Kalian ini lhoo…” Ce Viena tertawa menatap kami. “Iya Miss Karyn kalau nggak ada halangan akan resign minggu depan. Oya, Miss Karyn walikelas Ayreen dan Gaby, ya?”
“Iya, Ce… Miss Karyn kan seru, kenapa harus resign?”
“Ya saya nggak tahu pasti penyebabnyalah… Kan saya bukan peramal…”
Ce Viena itu kakak pendamping waktu retreat minggu lalu. Aku terakhir beretemu Ce Viena lima tahun lalu waktu aku sunday school di gereja lamaku, sebelum akhirnya bertemu di wisma retreat. Setelah aku keluar, aku nggak pernah ketemu Ce Viena lagi, dan Tuhan baru mempertemukan kami lagi waktu retreat.
Beberapa hari berikutnya setelah Miss Karyn resign…
“Kampreeettt!!!” teriakku sambil masuk ke kelas.
“What do you say?” Ce Viena melotot ke arahku. Ce Viena ternyata sudah di kelas. Aku dan Gaby masuk dengan riuh tawa teman-teman. Aku malu deh. “Adduuh, Reen… ternyata kamu nggak se-alim yang Miss kira, ya?”
“Ngopo, Reen?” tanya Christie. Aku hanya tertawa kecil, duduk dan melihat Ce Viena atau yang sekarang kusapa Miss Viena menutup pintu sembari menatap aku dan Gaby.
“Oke… Tenang dulu ya, renungan paginya akan segera dimulai.” kata Ce Viena menenagkan kami.
“Eh itu kan pembina di retreat?” bisik Jey padaku.
“Iya, dia nggantiin Miss Karyn.” Jawabku.
“Lhah? Kok bisa tiba-tiba gitu?”
“Ehem!” Miss Viena berdiri di jalan antara bangkuku dan Jey. Aku dan Jey tersenyum dan diam.
“Sorry, Miss…” kata Jey dengan ekspresi lucunya. Miss Viena berjalan ke belakang kelas, berdiri di sana, di belakang bangku Nova.
Setelah renungan pagi selesai, Miss Viena mulai memperkenalkan dirinya sebagai guru baru di sini. Miss Viena menjelaskan alasan Miss Karyn resign. Kurasa dengan Miss Viena kelas akan jauh lebih baik dan suasana kekeluargaan akan bisa kembali seperti waktu dengan Miss Icha.
“Mulai sekarang jika di kelas ada masalah, kalian bisa cerita pada Miss dan kita akan selesaikan bareng. Jangan sembunyiin masalah, karena dengan sedikit masalah sekalipun kelas kita bisa terpecah.” Jelas Miss Viena. “Dan, Miss kemarin malam sudah terima laporan dari salah satu teman kelas kalian kalau di kelas ini ada beberapa masalah yang asal mulanya adalah salah paham dan akhirnya menyebabkan adanya ketidak akraban antaranggota kelas.”
“Hah? Sapa seng bilang, Miss?” sahut Angeline.
“Yaah, itu rahasia Miss!” katanya. “Jadi mulai nanti habis istirahat pertama, Miss mulai panggil kalian satu per satu ketemu Miss di kantor.”
“Waduuh…” riuh ramai kelas memenuhi suasana yang tadinya tenang.
“Oke, selamat menjalani hari ini. Jangan buat masalah dan selalulah jadi solusi.”
Ya ampuun… Inikah solusi buat menyelesaikan kerenggangan di kelasku. Miss Viena sudah aku ceritakan konflik-konflik yang sering bahkan sering dialami kelasku. Untung saja Miss Viena tidak bilang kalau aku yang menceritakan hal-hal itu.
Pagi ini ada rekaman klip drama natal yang katanya akan ditayangkan di televisi. Ah, aku nggak nyangka banget Miss Viena milih aku buat jadi pemerannya. Seneng sih seneng, tapi ada satu yang nggak kutahu. Ada Edric juga di sini!
“One, two, three, action!”
Sutradaranya Miss Icha, secara Miss Icha tahu sastra dan seni peran. Sambil nunggu giliranku, Gaby, Shalin, Sam, Jey, dan Christie jadi anak-anak liar di café yang Jimmy (Edric) temui saat kabur karena bosan diatur orangtuanya (Miss Catherine, Mr. Rifky) dan kakaknya, Jojo (Nicholas) yang tak mau membelanya, aku selfie-selfie bareng Gaby, Shalin, Aurel, Miss Viena.
“Gab!” Miss Icha menengok ke arah kami berlima. “Ehalah, malah selfie… Giliran kalian sebentar lagi, siap-siap atau gimana kek!”
“Nah, tuh, malah selfie…” kata Miss Viena.
“Halah, Miss juga ikut weh!” kata Shalin.
“Haha… oke-oke… sana siap-siap!” kami (kecuali Aurel dan Miss Viena) memasukan hp dan berdiri di samping stage.
“Eh, sorry!” kata Edric. Diulurkannya tangannya untuk membantuku yang tak sengaja ditabraknya sampai aku jatuh. Busset dah! Ternyata Edric bisa ngomong sorry. Jarang banget aku lihat dan dengar anak sekarang bilang sorry. Gengsi, kata mereka.
“Eh ayo!” Christie mendorong Gaby untuk maju karena giliran kami sudah tiba. Kami masuk stage yang berlatar belakang café dan ada backsound lagu ngebeat.
“Hahaha!!! Enak ya kabur dari kelas!” kata Shalin.
“Betul sekali! Apalagi pelajarannya ‘Angry Bird’… waah nggak bisa dilupakan deh!” kata Jey.
“Kok ‘Angry Bird’?” tanya Christie.
“Yaah, nggak tahu niih…” kata ku. “Nggak up to date, loeh!”
“Ya iyalah, lihat aja alisnya, naik kayak Angry Bird!” kata Jey.
“Nggak Sinchan aja to? Kayaknya lebih cocok!” kata Christie.
“Haha… Cocokan Angry Bird! Kan sukanya marah-marah dan kalo nyampein materi gak pernah jelas!” kata Sam.
“Hai Guys!” kata Edric. “Boleh gabung?”
“Ooh, jelas boleh… ya kan, Guys!” kata Gaby.
“Yoi banget…” sahut kami mengambil minuman yang ditaruh pelayan. (Miss Jeany)
“Kayaknya kamu kan adiknya Jojo, artist rohani yang terkenal itu kan? Kok bisa di sini?” tanyaku.
“Hah, ya orangtuaku ngatur-ngatur aku biar jadi artist juga kayak Kak Jojo. Padahal aku nggak suka. Passionku di dunia seni. Sama sekali aku nggak suka entertain. Aku sukanya menggambar, membuat lukisan dan menciptakan sastra atau syair bertemakan rohani, eeh malah mereka nggak setuju.” Ceritanya.
“Haaalaah biasa orangtua!” kata Christie. “Aku juga sering banget disamain sama kembaranku ini (merangkul Jey) yang jelas sifat dan bakatnya beda jauh.”
“Ya makanya aku gabung sama kalian, siapa tahu aku bisa punya sahabat yang mau dukung aku dan meberiku nasehat.”
“Ehm, siapa namamu?” tanyaku.
“Panggil saja Jimmy.”
“Oke-oke… Kamu ikut aja di rumahku. Ya sementara sampai kamu bisa tenang dan mau nerima keluargamu lagi.” Kataku. Edric mengangguk.
“Makasih ya, semuanya!” kami semua berdiri dan keluar dari stage.
“Bagus deh!” kata Jey.
Aku berdiri di samping stage lagi. Menunggu giliranku setelah Aurel (Feli) bilang aku (Novi) sama pacar Novi kepada Miss Viena (Mami Novi)
“Eh hai Mam!” kata Aurel. (Feli)
“Hai, udah pulang?” tanya Miss Viena (Mami Novi) menghampiri Aurel. “Novi mana?”
“Itu di luar, Mam… kayaknya sama pacarnya…” bisik Aurel.
“Eh, Mami, Feli, kenalin ini Jimmy, adiknya Jojo, artist rohani yang terkenal itu lho, Mam…” kataku. “Aku ketemu di… Di café deket sekolah waktu pulang sekolah tadi…”
“Ooh bukan pacarnya…” bisik Aurel lagi.
“What do you say, Fel?!” kataku melototi Aurel.
“Sorry, Ce!” katanya. Edric tertawa.
“Nah, Jim, ini Mamiku dan ini adikku. Oya kalau bisa kamu senyamannya ya di sini. Anggep aja rumahmu. Oke?” kataku.
“Yeeh kalo bukan pacar kok seperti itu?” kata Aurel.
“Hush, Fel!” kata Mami. “Kan Novi sudah bilang baru ketemu tadi di café waktu pulang sekolah…”
“Ya sudah, sebahagiamu lah, Fel!” kataku ngajak Edric ke depan kamar tamu. “Nah, di sini tempat kamu tidur selama kamu nginap di sini…”
“Makasih ya!”
“Oke, nggak masalah!” kataku keluar stage.
“Cie-cie…” Bisik Shalin padaku di luar stage.
“Apaan, sih?”
“Apaan-apaan… Ya actingmu tadi. Itu acting atau beneran?” kata Shalin.
“Ya jelas acting lah, mosok ya mau beneran…” Kataku ngambil hpku.
“Hari berganti hari dan minggu berganti minggu… Jimmy masih belum bisa menerima dengan sepenuhnya keluarganya dan justru ia mulai nyaman di keluarga Novi. Ternyata di balik semua itu, Jimmy mulai menaruh hati pada Novi, begitu pun sebaliknya. Sampai suatu hari di hari libur sekolah…” kata Mr. Adit sebagai narrator. Aku masuk lagi ke stage.
“Hai, Nov!” kata Edric duduk di sampingku yang lagi membaca komik sambil nonton tivi di ruang tengah. “Seru nih kayaknya. Nonton apaan?”
“Nonton drama korea… Haha…” kataku sembari menatap santai Edric. “Tumben-tumbennya kamu ke ruang tengah, biasanya kamu menggambar terus di kamar.”
“Ya masa di kamar terus, bosen lah!” Edric membuka buku gambar yang dibawanya. “Aku mau nunjukin sesuatu sama kamu.”
“Waah, gambarmu ya? Lihat dong!” kataku mengambil buku gambar dari tangannya. “Bagus banget, Jim!”
“Haha, biasa saja, Nov!” aku mulai membalik buku gambarnya.
“Oh my God!” aku menatap Edric. “Apa maksud gambarmu ini, Jimmy?”
“Aku… Aku mau bilang, terimakasih buat nasehatmu, buat kemauanmu jadi sahabatku… Dan selama 3 minggu ini, dan sebelumnya pun aku sudah ada perasaan denganmu, sejak pertama ketemu denganmu waktu aku ikut Kak Jojo buat Meet and Great di sekolahmu. Dan baru sekarang ini aku mengenalmu. Kamu ternyata anak yang baik, tomboy, dan seru banget kalau jadi sahabat.” Jelas Edric. “Dan sekarang aku mau tanya padamu, Novi. Apakah kamu mau jadi kekasihku? Jadi pendukungku, pembelaku, dan penasehatku”
“Waduuh… Malu deh aku jadinya…” aku menatap keluar stage. Teman-temanku pada senyum-senyum dan bisik-bisik. Aduh aku kok deg-degan ya? Padahal ini kan cuma acting. Gimana kalau beneran? “Hmm… Aku mau. Tapi ada satu syarat. Kamu mau ya aku ajak ke gereja, kenal sama Tuhan, dan gabung melayani? Aku yakin di hari Natal ini, Tuhan akan memulihkan hatimu jika kamu mau dengan tulus datang ke hadapan-Nya dan mengaku segala dosamu.”
“Oke. Aku tertarik juga ke gereja. Dan kalau bisa aku akan ajak Mami, Papi, Kak Jojo juga. Ya kalau aku sudah lebih baik dan sudah kenal Tuhan jauh dari sebelumnya.” Aku tersenyum dan berdiri menggandeng Edric. Musik intro sebuah lagu ‘Dia Lahir untuk Kami’ melantun. Aku dan Edric menyanyikan lagu itu sampai selesai.
“Cut!” kata Miss Icha. “Oke, bagus sekali!!!”
“Miss, lihat hasilnya dong…” kata Aurel.
“Bagus kan, Miss? Siapa dulu pemeran utamanya, Edric Altrid Setiano…” kata Edric.
“Halah, gayamu, Dric!” kata Mr. Rifky.
“Nanti Miss kirim di google class ya…” kata Miss Icha.
“Siap, Miss…” kata Gaby.
—
“100!” teriak Nathan, keponakanku.
“Yee, Ko Nathan dapat 100 tiket!!” seru Jovan, adik Nathan.
“Kita dibagiin dikit dong, Ko…” rayu Jovi, kembaran Jovan.
“Hah, sudi!” Nathan memalingkan badan dan pergi menuju ke permainan lain.
“Aduh!” sosok anak perempuan kecil menabrakku.
“Jessie!” Edric mengerjar anak itu. “Aduuh sorry banget… Adikku nggak sengaja nabrak.”
Aku hanya tersenyum pada Edric. Aku heran kenapa bisa di sini ketemu juga sih sama Edric. Aneh. Atau kita memang jodoh? Ah nggak usah berpikir kejauhan deh, Ayreen…
Sembari aku terus ikut main bareng Nathan, Jovan dan Jovi, aku menenangkan diriku dan mencoba berpikir positif. Meski Edric belum tentu juga suka denganku, tapi kenapa aku punya ambisi buat jadi yang terbaik biar Edric tahu siapa aku.
“Aunty Reen!” panggil Nathan. “Ayo main itu…”
Aku melihat ke permainan memasukkan bola basket di ujung area permainan. Aku cuma berpikir apa Nathan bisa main itu? Kan ring nya tinggi.. Haha kayaknya aku meremehkan Nathan banget ya?
“Yakin Ko bisa main itu? Aunty bantu ya?” tanyaku.
“Sure! Ayo Aunty!” tarik Nathan.
“Masuk!” kataku.
“Hah” kata Nathan yang bolanya keluar. “Yey masuk!”
Hari ini pelepasan kelas 9. Rasanya cepat sekali waktu ini berlalu. Nampaknya baru tahun lalu aku ketemu sahabat-sahabat baru yang seru dan gesrek, dan sekarang hari terakhir kami bisa bersama. Semua yang kami lakukan kemarin tinggal kenangan saja. Ya, tinggal kenangan.
“Ayreen mana, Ayreen?” cari Miss Rizy.
“Ayreen?!” teriak Gaby memanggilku yang lagi di toilet. Aku sedang make up bareng Shalin.
“Hah, apa?!” kataku kaget. “Lagi make up ini…”
“Astajim!” Gaby menahan tawa. “Sorry…”
“Kenapa ketawa?” tanyaku melototi Gaby dan masih tidak sadar kalau lipstickku mblepot ke pipi.
“Itu lihat saja di cermin.” Jawabnya.
“Ya ampun!” aku mengambil tissue, Shalin dan Gaby tertawa.
“Sudah, sudah. Ayren kamu di cari Miss Rizy. Sebentar lagi acara dimulai dan kita sebagai pembuka.”
“Oh ya… bentar…” kataku memasukkan alat-alat make up ku dan membuang tissue lalu beranjak keluar toilet.
“Nah, Gaby, Ayreen nanti begitu udah ada tanda mulai, kalian langsung masuk dari pintu masuk perlahan sambil menyanyi. Nikmati tempo nya.” Jelas Miss Rizy.
“Oke siyap, Miss!” sahut kami berdua.
Acara pun dimulai. Aku dan Gaby masuk dan mementaskan apa yang telah kami semua latih selama ini. Kami perlahan berjalan di tengah sekian banyak teman-teman dan orangtuanya menuju panggung. Mereka semua terpukau. Ya puji Tuhan sajalah. Aku senang karena ini pertama kalinya aku mengisi acara dengan bernyanyi.
Setelah selesai, kami segera masuk ke belakang panggung dan ganti dengan seragam kami. Iyalah kami harus duduk bersama orangtua kami. Dan di belakang panggung inilah banyak guru memujiku dan Gaby. Uuuh…
“Luarbiasa, Ayreen, Gaby! Kalian menuai tepukan tangan…” kata Licia.
“Hmm…” kataku tersenyum.
“Lain kali kalian ikut kontes pencarian bakat saja! Dijamin lolos!” kata Miss Rizy.
“Iya kalau lolos. Kalau tidak kan malah repot sudah jauh-jauh audisi?” kata Gaby.
“Kalian pesimis banget siih!” kata Miss Viena. “Coba dulu ya?”
“Apa ada Miss?” tanyaku.
“Ada. Audisinya di mall yang baru buka itu…” kata Miss Viena.
“Tuh. Coba dulu lah, Gab, Reen…” kata Miss Rizy.
“Kalau kalian mau, nanti langsung Miss daftarin. Besok datang ke sana. Oke ya?”
“Oke kalau gitu!” kataku dan Gaby.
Beberapa minggu kemudian, setelah kami berdua dinyatakan lolos audisi provinsi dan menunggu jadwal maju ke Jakarta. Sahabat-sahabatku menyambutku di sekolah, di SMA. Iya, mereka mengagetkanku dan Gaby yang sedang makan kentang goreng dan minum Choco Brown Ice dan Gaby minum Vanila Chocochip Ice.
“Wuih calon bintang udah duluin kita ke kantin niih…” kata Aurel memepetku dan tak sengaja menumpahkan minuman dan kentang gorengku.
“Aurel!!” kataku menegakkan gelas plastik minumanku. “Basah kan lembaranku jadinya. Iih Aurel!”
“Waah dah lupa kayaknya sama kita? Maklum calon bintang…” Shalin menatap yang lain. “Bener kan?”
“Aduh, Guys… kita gak bakal lupa sama kalian lah. Suka duka kan kita bakal bareng. Ya kan Reen?” tanya Gaby.
“Heemm, bener banget!” kataku menyedot minumanku yang tinggal sedikit. “Iiih abis…”
“Loe ini, Reen… perut aja yang dipikirin.” Kata Gaby.
“Hai-hai semua!!” kata Sam.
“Waah aku terlambat banyak ya?” kata Jey.
“Halo!” Kata Christie yang baru datang.
“Baru dikit kok Jey! Kalau telat ya kita hukum. Ya?” kata Gaby. Kami tertawa.
“Calon bintang niih ya… ntar kalau dah terkenal jangan tinggalin kita ya?” kata Jey.
“Pasti dong…” kataku dan Gaby.
“Janji ya?” kata Aurel
“Janji.”
“Janji.”
—
“Aah Aurel ini biang masalah! Lembaran pelajaran kena minuman. Ceroboh banget siih!” kataku mengibas-ngibaskan lembaranku di bawah AC.
“Udahlah santai aja, Reen. Lagian kamu juga salah sih. Ke kantin bawa handout. Kemana-mana bawa buku. Apa gak lelah tuh otak dan mata?”
“Napa Reen? Monyong aja. Masih gara-gara handout tadi?” tanya Shalin.
“Iyalah. Kalian tahu sendirikan seperti apa Miss Adelin. Aku bisa disuruh ngepel nanti.” Kataku.
“Yaah memang gitu kan… Itulah guru kimia kita…”
“Apa-apaan ini bicarain saya?” kata Miss Adelin ringan.
“Hah?!” kataku, Gaby dan Shalin kembali ke tempat duduk masing-masing.
“Ayreen.”
Aku terhenti. Kaku seperti patung. Miss Adelin pasti tahu handoutku basah dan kotor. Aduh apes gua! Bakal jadi tontonan karena ngepel satu sekolah. Aurel ini gara-gara loe!
“Miss tengok handout mu?” Miss Adelin menatap tajam diriku dan mengulurkan tangannya meminta handoutku.
“I-ini, Miss.” Jawabku dengan takut memberi lihat handoutku.
“Bagus ya. Kau tahu kan konsekuensinya? Sepulang sekolah bersihkanlah sekolah!”
“Ta-tapi…” kataku.
“Tidak ada tapi.” Sialan! Kan bener. Bukan hanya ngepel, tapi bersihkan sekolah. Apes bener gua.
Kubawa ember dan pel. Butiran keringatkupun berjatuhan. Setelah aku menyapu, membersihkan jendela dan kusen, sekarang ngepel. Banyak mata tertuju padaku yang mengepel tepian teras kelas. Masih juga ditambah komentar Miss Adelin. Payah!
“Yang bersih dong!” kata Miss Adelin.
Dengan muka kusut aku melanjutkan mengepel dengan lebih keras lagi. Begini nih, gara-gara kecerobohan Aurel, aku yang kena apes! Nanti sepulang sekolah akan aku jitak tuh anak. Sebel!
“Diem! Gak usah tertawa!” kataku ketus pada adiknya Stevie.
“Yang sabar ya, Ce… “ katanya.
“Awas kau, Hana, Ivana!” mereka berdua lari menjauhiku.
Kulayangkan pandanganku pada sosok pria tinggi itu. Dalam hatiku aku bergumam. Aku hanya berpikir siapakah dia? Ingatanku mengatakan bahwa aku mengenalnya.
“Heh, ngapain?!” kata Gaby.
“Gak tau Gab, kayaknya aku kenal sama cowok itu.”
“Siapa? Dia?” telunjuknya menunjuk lelaki itu.
“Iya…”
“Oh hai, Bro!” kata beberapa teman lelakinya yang tiba-tiba muncul.
“Apa kabarnya, Dric?”
“Masih njomblo aja nih?”
“Iya nih, Edric…”
“Hah?!” aku dan Gaby saling tatap.
“Astaga… Dia tambah cakep aja…” kataku.
Aku sekarang adalah Ayreen yang berbeda. Iya, Ayreen yang jauh berbeda dengan 7 tahun lalu. Aku adalah penyanyi rohani sekaligus novelis. Aku banyak menceritakan kisah hidupku dalam karya novelku.
“Ayreen, Gaby, gabunglah sini!” panggil Noel, kekasih Gaby yang duduk bersama Edric.
“Eh itu Ayreen?” bisik Edric.
“Iya… kenapa?” jawabnya.
“Kok beda ya?”
“Ayreen emang dah nggak seperti dulu. Dia lebih diem. Mungkin karena banyak nulis. Dia kan novelis…” kata Shalin yang tiba-tiba muncul.
“Hai…” kata Andre.
Ya Tuhan, apakah aku harus meneruskan rasa cintaku padanya? Mungkin cintaku telah kukubur dalam dalam setelah 6 tahun lalu berpisah sekolah dengan Edric. Tuhan beri hatiku ini keyakinan untuk mengenalnya kembali.
“I LOVE YOU AYREEN…” surat itu ada di atas meja kerjaku. Siapa yang memberiku ini?
“Aku telah lama menyimpan rasa padamu. Aku baru tahu jika kau juga punya rasa yang sama setelah Gaby dan Shalin banyak bercerita latar belakang dibalik novel-novel buatanmu. Edric.” tulisnya dalam surat itu. Senyumku mengembang.
Karna Di ERTIGAPOKER Sedang ada HOT PROMO loh!
ReplyDeleteBonus Deposit Member Baru 100.000
Bonus Deposit 5% (klaim 1 kali / hari)
Bonus Referral 15% (berlaku untuk selamanya
Bonus Deposit Go-Pay 10% tanpa batas
Bonus Deposit Pulsa 10.000 minimal deposit 200.000
Rollingan Mingguan 0.5% (setiap hari Kamis
ERTIGA POKER
ERTIGA
POKER ONLINE INDONESIA
POKER ONLINE TERPERCAYA
BANDAR POKER
BANDAR POKER ONLINE
BANDAR POKER TERBESAR
SITUS POKER ONLINE
POKER ONLINE
ceritahiburandewasa
MULUSNYA BODY ATASANKU TANTE SISKA
KENIKMATAN BERCINTA DENGAN ISTRI TETANGGA
CERITA SEX TERBARU JANDA MASIH HOT